Sabtu, 29 Mei 2010

Janji

Janji
By: Ahmad Afif
Janji, sumpah, atau komitmen, acap indah diucapkan, mudah ditandatangani, tapi tak jarang gampang pula dicederai. Bagaimana para amirul mukminin menepati janji?
Suatu ketika, dua orang pemuda menghadap Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu (Ra), sambil menggiring seorang pria. Keduanya mengadukan pria tersebut kepada khalifah atas kasus pembunuhan yang dilakukannya terhadap ayah mereka. Mendengar pengaduan itu, serta merta Umar bin Khatthab langsung menginterogasinya.
“Wahai Fulan, apa yang sebenarnya telah terjadi?” tanya Umar.
“Waktu itu aku memiliki unta. Ketika kami berhenti di kebun milik ayah kedua pemuda, tanpa dapat dicegah untaku menjulurkan lehernya dan memakan kurma yang ada di kebun. Tiba-tiba datang ayah kedua pemuda dan memukulkan batu ke arah untaku. Melihat demikian, aku tak tinggal diam. Aku ambil batu tersebut dan balas memukul kepala ayahnya hingga tewas,” papar pria itu.
Dari pengakuan itu, Umar bin Khatthab memvonisnya dengan hukuman qishash, yaitu menghukum mati pria itu. Tapi sebelum dieksekusi, pria itu minta waktu penundaan tiga hari. Alasannya, ia masih memiliki beberapa saudara yatim, sedang dirinya menyimpan banyak harta di suatu tempat yang tidak diketahui kecuali dirinya sendiri. Rencananya, waktu tiga hari tersebut akan digunakan untuk memberitahukan tempat harta tadi disimpan kepada saudara-saudaranya agar mereka dapat memanfaatkannya.
Umar bin Khatthab berkata, “Bisa saja aku beri tempo tiga hari, asalkan engkau mampu menghadirkan orang yang bisa menjadi jaminanmu.”
Sikap bijaksana Amirul Mukminin itu segera disambut si terpidana dengan menebar pandangannya ke arah orang-orang yang ada di sekeliling pengadilan. Ia berharap mudah-mudahan ada orang yang ia kenal. Sayangnya, tak seorang pun yang ia kenal. Sirnalah harapannya untuk mendapatkan orang yang akan menjadi penjaminnya.
Tapi tiba-tiba dari kerumunan massa, berdiri sosok sederhana yang tak lain adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia mengangkat tangan seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, insya Allah saya siap menjadi penjaminnya hingga sebelum terbenamnya matahari di hari ketiga.”
Berkat jaminan Abu Dzar, pria itu bisa pergi untuk menikmati tempo waktu tiga hari yang diberikan Amirul Mukminin sebelum dieksekusi.
Di hari ketiga, waktu tersisa hanya dalam hitungan jam saja, Umar menatap penuh rasa khawatir kepada Abu Dzar. Ia takut kalau pria itu tidak datang. Tapi dalam suasana tegang itu, sebelum matahari terbenam, pria tersebut muncul di tempat yang ia janjikan sesuai waktu yang ia tetapkan. “Wahai Amirul Mukminin, inilah aku telah datang menemuimu,” lapor pria itu kepada Umar.
Dengan setengah kagum Umar bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk datang kemari?”
Pria itu menjawab, “Aku datang agar khalayak luas tidak ada yang berasumsi bahwa pemenuhan janji sudah mati suri.”
Lantas Umar bertanya kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, apa yang mendorongmu bersedia menjadi penjaminnya?”
Abu Dzar menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku berani menjaminnya agar tak seorang pun beranggapan bahwa muruah (harga diri) telah hilang.”
Tiba-tiba kedua pemuda yang ayahnya mati terbunuh maju menghadap kepada Amirul Mukminin untuk menarik dakwaan dan memaafkan pria itu. Umar pun bertanya, “Mengapa kalian berdua memaafkannya?”
Kedua pemuda menjawab, “Agar tak seorang pun memiliki persepsi bahwa toleransi telah sirna.”
Janji, sumpah, atau komitmen, acap indah diucapkan, mudah ditandatangani, tapi tak jarang gampang pula dicederai. Akhir-akhir ini, kita kerap menyaksikan berbagai janji, nota kesepahaman, atau sumpah setia, begitu mudah dibuat oleh berbagai kalangan, mulai dari orang-orang elite hingga mereka yang dikenal wong cilik. Sayangnya, kesepakatan yang dibuat seringkali semu, tidak mencerminkan nilai-nilai kesepakatan yang sesungguhnya, tapi dilakukan demi mengejar kepentingan sesaat. Dalam bahasa lain dikenal dengan istilah politik dagang sapi.
Di tengah badai krisis multidimensi yang tak kunjung reda ini, kita tentu menyambut baik setiap kesepahaman yang terjadi antara para elite politik negeri ini. Namun seyogyanya, semua dilakukan atas landasan nilai-nilai moral dan kepentingan universal bangsa dan ummat Islam, sebagai pemangku sah negeri ini. Dalam kaitan ini, kisah di atas menggambarkan dalam tiga dimensi moral yang amat bernilai.
Pertama, kesepakatan dibuat harus didasari cita-cita luhur agar rakyat tidak ada yang berasumsi bahwa pemenuhan janji sudah mati suri.
Ini merupakan sebuah ungkapan arif yang mencerminkan keluhuran jiwa. Sebenarnya, tiga hari cukup bagi pria terpidana itu untuk kabur agar terbebas dari jeratan hukum. Toh, kalaupun ia tak datang menepati janji, ada orang yang telah siap menjadi penggantinya untuk menerima hukuman. Tapi tidak demikian. Dengan tegar ia menepati apa yang telah menjadi komitmen dirinya.
Sikap demikian tentu saja tidak akan pernah terjadi di negeri dimana kejujuran, pemenuhan janji, dan komitmen sudah sirna. Jangan harap ada keluhuran sikap seperti itu bila apapun di negeri ini bisa selesai asalkan uang dan kekuasaan yang berbicara. Sudah menjadi rahasia umum, maling-maling kelas kakap negeri ini dapat dengan mudah berkelit dan lari dari tuntutan hukum. Alasannya klasik: sakit, berobat ke luar negeri, atau apapun yang terkesan absah secara hukum.
Contoh lain, ada kecenderungan sejumlah elite politik negeri ini membangun koalisi yang sangat sarat dengan kepentingan-kepentingan individu para ketua partai semata, tanpa mempertimbangkan kepentingan konstituennya. Alih-alih memberi perubahan, kesepakatan yang dibangun dalam koalisi itu justru malah menjadi simbol kebangkitan dari kekuatan amoral status quo. Padahal dari dulu perilaku mereka bak bajing loncat, bunglon, atau lintah darat penghisap darah dan peluh keringat rakyat. Lebih disayangkan lagi, di dalam barisan koalisi itu justru ada yang berasal dari kekuatan politik Islam.
Kedua, agar tak seorang pun beranggapan bahwa muruah (harga diri) telah hilang.
Harga diri bangsa ini sudah diobral habis-habisan. Di dalam negeri, misalnya, bangsa ini telah menjadi kuli di negerinya sendiri. Di luar negeri, mereka diperlakukan laksana budak-budak belian. Jeritan, rintihan, dan tangisan para pahlawan devisa itu seperti tak pernah berakhir. Sementara mental para pejabat kerap menyebalkan, selalu ingin dilayani, berambisi untuk dituankan. Sungguh mentalitas mereka jauh dari muruah yang seharusnya dimiliki para pemimpin.
Berbeda dengan sikap Abu Dzar. Ia bersedia menjadi tameng bagi sosok terpidana qishash yang ingin harga dirinya tidak hilang dengan berusaha menuntaskan amanah yang diembannya (harta anak yatim) kepada sanak famili yang berhak. Andaikan tidak ada jaminan dari sosok Abu Dzar, pria itu tidak akan bisa memenuhi amanah yang dipikulnya. Inilah sosok figur publik yang kita butuhkan saat ini. Sosok yang rela berkorban demi rakyat kecil yang jujur. Sosok yang mendukung upaya menyuburkan keluhuran sikap di masyarakatnya.


Ketiga, agar tak seorang pun memiliki persepsi bahwa jiwa toleransi telah sirna.
Sikap pemaaf seperti yang dilakukan kedua pemuda di atas merupakan barang langka, mengingat keduanya berlapang dada memaafkan ketika mereka sebenarnya dibenarkan secara hukum untuk membalas kematian ayahnya. Peristiwa ini mencerminkan penegakan hukum yang tegas oleh pihak penguasa sekaligus kejujuran rakyat yang rela menunjukkan pengakuan bersalah tanpa adanya tekanan. Kisah itu juga mengajarkan kita untuk memaafkan orang yang mau mengakui kesalahannya dan jujur dengan janjinya, walaupun secara hukum ia telah divonis bersalah.
Tapi, sikap memaafkan di sini harus dibedakan dengan “jiwa pemaaf” bangsa ini yang lebih tepat disebut sebagai “jiwa pelupa”. Bangsa ini telah diperas dan dibuat sengsara oleh pemimpinnya, tapi anehnya masih ada elemen bangsa yang rela berdarah-darah membela dan memilih kembali pemimpin yang selama bertahun-tahun telah membuat mereka menderita. Bangsa ini, harkat dan martabatnya, telah diperkosa oleh para pejabat korup, tapi masih tetap legowo memberikan jalan mulus untuk mereka menuju kursi kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar