Rabu, 14 Juli 2010

islam memandang filsafat manusia

BAB I
Pendahuluan
Pengertian Filsafat
Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: .
Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ = cinta, suka (loving), dan ’sophia’ = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa arabnya ‘failasuf”.
Dari Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat manusia adalah cabang filsafat yang hendak secara khusus merefleksikan hakekat atau esensi dari manusia. Filsafat manusia sering juga disebut sebagai antropologi filosofis. Filsafat manusia memiliki kedudukan yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, epistemologi, kosmologi, dan filsafat politik. Akan tetapi filsafat manusia juga memiliki kedudukan yang istimewa, karena semua persoalan filsafat itu berawal dan berakhir tentang pertanyaan mengenai esensi dari manusia, yang merupakan tema utama refleksi filsafat manusia. (Abidin, Zainal Filsafat manusia, 2006).
Ciri Filsafat Manusia
Ciri utama dari filsafat manusia adalah pendekatannya yang sekaligus meluas dan mendalam di dalam memahami manusia. Disebut mendalam, karena filsafat hendak mencari inti, akar, atau struktur dasar yang melandasi seluruh realitas manusia, baik yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, ataupun yang ada di dalam data-data ilmiah. Disebut meluas, karena filsafat manusia hendak memahami semua dimensi manusia dari sisinya yang paling mendasar, seperti manusia sebagai mahluk yang memiliki motivasi, kesadaran, kebebasan, agresi, dan sebagainya.
Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
Filsafat manusia menawarkan suatu bentuk pengetahuan yang luas, dalam, dan kritis tentang keseluruhan manusia. Pengetahuan semacam itu sekaligus memiliki manfaat teoritis dan praktis. Secara praktis, filsafat manusia mampu membantu kita membuat keputusan-keputusan praktis di dalam kehidupan sehari-hari dengan berbekal pengetahuan yang kita miliki tentang diri kita sendiri. Filsafat manusia juga dapat membantu memberikan makna pada apa yang tengah kita alami, menentukan tujuan hidup, dan sebagainya. Secara teoritis, filsafat manusia dapat membantu kita meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi di dalam teori-teori tentang manusia yang terdapat di dalam ilmu pengetahuan. Filsafat manusia, pada akhirnya, dapat membuat kita semakin menyadari, betapa manusia adalah mahluk yang sangat rumit. Manusia adalah suatu enigma yang tak mungkin sepenuhnya bisa dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri

BAB II
MANUSIA

1. Dari mana asal Manusia?
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya.Pembicaraan kita tentang Manusia dan agama dimulai dengan manusia itu sendiri. Pertanyaan tersebut dijawab oleh dua sumber, aqal dan naqal. Jawaban aqal berasal dari manusia, sedangkan jawaban naqal berasal dari tuhan. Jawaban manusia terbagi terbagi dua pula, pertama, berdasarkan pengetahuan primitive atau bersahaja, kedua, pengetahuan ilmu. Jawaban naqal dibagi atas dua pula, pertama, yang dianggap atau dipercayai berasal dari tuhan, yang kedua, yang sungguh-sungguh yang berasal dari tuhan yang maha esa.
Pertanyaan tentang siapakah itu manusia berkaitan dengan dua pertanyaan lain : dari mana dan kemana akhirnya manusia itu? Kalau manusia berasal dari hasil evolusi hayat, tentu ia berasal dari jenis yang lebih rendah.

2. Hakikat Manusia
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Menurut Gabriel Marcel, manusia bukanlah problema yang akan habis dipecahkan, melainkan misteri yang tidak mungkin disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas karena harus dipahami dan dihayati. (Louis Leachy, 1984)

3. Manusia dan Kemungkinan Ultimnya
Manusia adalah suatu makhluk yang bertanya. Dari semula ia sudah berbakat filosofis, sebagaimana sudah tampak dengan jelas pada anak-anak. Secara spontan dan tanpa berpikir masak-masak, seorang anak mempertanyakan segala sesuatu, bahkan mengenai darimana asalnya dan kemana arahnya. Dalam agama Islam maupun agama Kristen, sering kali dipakai metode Tanya jawab tentang persoalan agama
Manusia sungguh makhluk yang bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya. Manusia yang bertanya, tahu tentang kebeeradaannya dan ia menyadari juga dirinya sebagia penanya. Jadi, ia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya.
Apakah saya ini? Apakah manusia? Apakah kemungkinan kemungkinan saya dan manusia pada umumnya? Apakah makna kehidupan saya? Benar-benar pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan menawan hati. Bahkan dapat ditanyakan lebih mendasar lagi: apakah kehidupan saya masish mempunyai makna?
Kata “makna” menunjukan : arti, nilai, pengertian, rasonalitas, kesesuaian dengan tujuan. Orang beragama yang berpendidikan akan minta juga pandangan ilmu pengetahuan dan filsafat, sedangkan orang yang tidak beragama akan mencari jawabannya hanya dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia akan mencari untuk menemukan kemungkinan ultimnya dan dalam hal ini sekaligus ia mendapatkan makna kehidupannya.
Kemungkinan Ultim manusia mungkin ada pada setiap filsuf dan teolog, bahkan setiap manusia yang berpikir, bisa dan harus memandang kemungkinan ultimo itu seebagai makna kehidupannya. Kemungkinan ultimo adalah yang dapat dicapai manusia sebagai yang paling akhir dan paling menentukan; dengan kata lain, perutukan dan tujuannya.
4. Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.






BAB III
FILSAFAT DAN ISLAM
1. Filsafat Islam
Agaknya tidaklah aneh jika masih ada orang sampai hari ini meletakkan filsafat islam pada altar skeptif. Sikap ini jelas merupakan warisan, terutama dari pandangan para orientalis abad ke-19, menurut mereka kendatipun orang-orang islam melakukan kegiatan mempelajari filsafat, namun mereka tidak akan mungkin melahirkan filsafat sendiri. Alasan-alasan pandangan mereka dapat dirangkum sebagia berikut:
a. Adanya kitabsuci alquran yang menegaskan kebebasan atau kemerdekaan berpikir.
b. Karakter bangsa arab yang tidak mungkin berfilsafat.
c. Bangsa arab adalah ras semit (al-samy), termasuk ras rendah bila dibandingkan dengan bangsa yunani ras Aria (al-ary). Ras semit mempunyai daya nalar yang lemah dan tidak mampu berfilsafat, yang hanya dimiliki oleh ras Aria.
Alasan-alasan diatas yang dikemukakan tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan mengandung kadar kezaliman. Seperti kitab suci alqwuran dituding menegasikan kebebasan berfikir, padahal faktualnya tidak sedikit ayat-ayat alquran yang mengsnjurkan dan mendorong pemeluknya banyak berpikir dan melakukan pen gamatan dan penelitian dalam berbagai bidang serta mencela orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Dengan demikian, tidak dapat disangsikan lagi bahwa salah satu jasa islam ialah memobilisasi akal, pembuka, dan penggerak akal manusia dalam kehidupan rohani dan jasmani.

2. Tiga Lingkungan Pemikiran Islam
Di dalam dunia islam ada tiga lingkungan yang mengeluti pemikiran filsafat. Mereka hidu p sezaman dan saling to take and give. Ketiga lingkungan tersebut adalah, yang pertama yaitu aliran kalam yang mencakup syi’ah dan ahl al-sunah. Aliran syi’ah mempunyai teolog-teolog yang kadang kala tidak kalah bobotnya dibandingkan teolog-teolog ahl al-sunah. Lingkungan ini secara global merupakan lingkungan paling sempurna dari tiga lingkungan itu.
Yang kedua adalah lingkungan filosof-filosof murni, yang kita sebut dengan paripatetik Arab. Paripatetik adalah aliran yang bersumber pada Aristoteles, walaupun berbeda dari Aristoteles dalam sebagian hal. Dan lingkungan yang terakhir yaitu adalah lingkungan kaum sufi. Lingkungan ini mampu membela pemikiran filsafat pada waktu public awam menolaknya, di bawah pengaruh serangan keras , sehingga filsafat dalam beberapa zaman hidup di bawah naungan tasawuf, sebagaimana ia hidup di bawah naungan ilmu kalam.

3. Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu-ilmu Keislaman Lainnya
a) Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam
Walaupun ilmu kalam tetap menjadikan nash-nash agama ssebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil-dalil “melebihi” penggunaan dalil naqli yang Nampak pada perbincangan mutakallimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan ilmu kalam dalam lingkup Filsafat. Selain itu alasan yang di kemukakan adalah sebagai berikut:
• Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan hijriah ialah firman atau kalam Allah Alquran sebagai salah satu sifatnya.
• Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil (rasio)
• Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan filsafat.
Dengan demikian, ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang timbul dari hasil diskusi umat islam dalam merumuskan akidah islam dengan menggunakan dalil akal dan filsafat. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam memahami islam dan pembentukan akidah muslim.
b) Filsafat dengan Tasawuf
Menurut al-Iraqy, tasawuf dalam islam baik yang suni maupun yang falsafi termasuk dalam ruang lingkup filsafat islam secara umum. Menurutnya, hal ini disebabkan kaum sufi mempergunakan logika dalam mempelajari ai-hulul, wahdat al-wujud, al-baqa’ dan al-fana’. Maka dengan menempuh jalan mujahadah (pengekangan hawa nafsu) dan musyahadah (pandangan bathin), serta berbicara dengan bahasa intuisi dan pengalaman batin, Allah kemudian menancapkan ke dalam jiwa manusia ketika bersih prihal ma’rifah dan hakikat-hakikat maujud. Jalan tersebut tidak merata terdapat pada manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar